Selasa, 21 Julai 2009

Mengubah Anugerah?

12/September/2008

Menyelongkar peti yang tidak pernah penuh oleh hilangnya muatan menemukan catatan yang jenuh dicari selama ini.

Beberapa bulan yang lalu kami menyendiri di persisiran pantai yang indah pemandangannya.

Keashikan melihat laut yang tidak bertepi sepanjang perjalanan memberi rasa di hati untuk dibenamkan bahawa ciptaan Allah bukan sekadar perhiasan namun ia amanah yang diwalikan untuk insan yang berhati nurani suluhan iman memeliharanya.

Setelah kenderaan dihentikan enjinnya, kami berlarian berlumba untuk mencecahkan kaki ke dalam air yang bergumpal buih memintal gelombang yang berpecah-pecah, saling bersaing untuk memenuhi sudut-sudut di laman pantai dan tanpa diduga kaki-kaki kami seakan tidak upaya dikawal oleh kelicinan muka pantai yang berselut dalam hingga terjahan kaki menerbitkan pepasir hitam yang agak menjijikkan oleh bau dan sifatnya yang bersalut di kaki.

Rupa air di laut yang jernih mulai berubah warna saat kaki menyentuh dasar pantai dan seperti kepulan asap hitam dasar pantai serasa umpama lubuk yang berlubang tidak upaya menahan hentakan kaki-kaki kami. Mulai air hitam membuak keluar yang menjadikan kami berlarian semula ke pantai.

“Beginilah rupa dan sifat sebenar hasil ciptaan manusia,”mulai anak bersuara.

“Pantai dan daratan yang ditebus-guna apabila saat itu tiba,ia tidak upaya bertahan walau dikimpal oleh konkrit yang kental buat menahan aur dari menenggelamkan tebingnya.”

“Maksudnya?”

“Usah keterlaluan merubah apa yang telah dianugerah."

Tiada ulasan:

Catat Ulasan